Potensi Pariwisata

Secara umum kawasan Desa Bamba Puang memiliki banyak spot-spot destinasi wisata yang jika dikelola secara profesional akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi masyarakatnya dan jika pemerintah Kabupaten Enrekang mampu mengelola secara maksimal objek-objek wisata ini maka telah pasti akan mendatangkan sumber pajak yang besar bagi daerah.  Adapun Spot- Spot Wisata Alamnya adalah sebagai berikut :

1. OBJEK WISATA ALAM GUNUNG NONA


Gunung Nona atau masyarakat setempat menyebutnya “Buttu Kabobong” karakteristik yang dimiliki objek dan daya tarik wisata tersebut adalah kondisi alam dengan panorama indah dan unik. Objek ini berada pada daerah lembah sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan atau pengunjung yang ingin menikmati suasana pegunungan yang sejuk dan alami.

Objek wisata alam “Buttu Kabobong” mengandung arti tersendiri, yaitu “Buttu atau Buntu” berarti sebuah gunung, dan “Kabobong” berarti kalamin wanita. Daya tarik objek ini memiliki karakteristk yang tidak dimiliki objek wisata lain. Karena bentuknya yang erotis dan eksotik menyerupai kelamin. Oleh  Seorang pemuda setempat memberi gelar Gunung Nona  dengan “Erotic Mountain” dikarnakan sulitnya menemukan kosakata yang tepat untuk menyebut nama gunung nona ini kedalam bahasa inggris yang sopan dan tidak terlalu vulgar dalam mengumpamakan Buttu Kabobong atau Gunung Nona.

Selain objek ini, terdapat pula objek panorama gunung yang lain yang letak nya tidak begitu jauh dari objek gunung nona, oleh masyarakat setempat diberi nama “Buntu Lansa atau Buttu Lasa”, yaitu sebuah gunung yang memanjang menyerupai kelamin laki-laki. Posisi objek ini terletak disebelah barat “Buttu Kabobong” dan berhadapan langsung dengan “Buntu Lansa” yang dibatasi sungai Mata Allo sebelah timur laut gunung Bamba Puang

Menurut cerita yang berkembang dimasyarakat  yang dalam lagendanya, gunung ini muncul sebagai akibat kutukan dari Dewata (Sang Pencipta Alam Semesta) atas perbuatan mereka yang melanggar “sukaran aluk”  (aturan hukum Tuhan). Pelanggaran “sukaran aluk” adalah melakukan atau mengadakan hubungan intim  tanpa didahului pernikahan terlebih dahulu.

Dalam lagendanya dijelaskan bahwa kedua objek Buntu Kabobong adalah perwujudan dari Kambirang Tana dan Buntu Lansa adalah perwujudan dari Tamboro Langi’. Dalam mitosnya diceritakan bahwa kedua objek gunung ini adalah berawal dari sebuah kerajaan pemerintahan Tindalun pada masa lampau. Raja Tindalun Kalando Palapana salah satu  putera keturunan Puang Tindalun dan berdarah asal daerah Tangsa. Pemerintahan kerajaan Kalando Palapana bersama dengan rakyat dalam keadaan rukun dan sejahtera, nikmat yang diberikan dari Sang Pencipta. Karena kesenangan duniawi, pemerintahan kerajaan memberikan peringatan (ultimatum) kepada rakyat agar bersyukur dan jangan takkabur. Seruan ultimatum perintah raja tidak diindahkan rakyatnya, bahkan perlakuan rakyatnya tambah menunjukkan ketidaksyukuran. Hal ketidaksyukuran yang dimaksud adalah makanan dijadikan objek permaianan.

Selanjutnya rapat agung pemerintahan kerajaan bersama pemangku adat digelar, hasil tidak menunjukkan pola perubahan dan tingkah laku masyarakatnya, bahkan keluarga kerajaan sendiri melakukan perbuatan tidak terhormat dan tercela dengan Sang Pangeran dari kerajaan lain. Ketika sedang keasyikan bermesraan kedua warga kerajaan yang latar belakangnya satu keturunan, datang murka (kutukan) dan menjadi sebuah gunung.
Dari penuturan tokoh adat Bamba Puang,(Almarhum Ambe Nuru, 82 Tahun) dituturkan ”Setelah mereka dibunuh dan dikuburkan berdua jauh dari kampung Kotu sebagai hukuman atas tragedy “paepae” (perbuatan melanggar adat), kemudian spontanitas hujan dan datang banjir dan membawa mereka jauh dari tempat tadi dikubur dan meninggalkan bekas membentuk kelamin, dijelaskan selanjutnya bahwa setelah terbawa arus mereka sampai disuatu tempat sekitar 6 KM (antara daerah Malauwe dan Kulinjang). Keberadaan mereka pun tidak diterima dilingkungan tersebut (tanah), dan hingga sekarang wilayah tersebut tidak stabil (longsor). Demikian Sekelumit cerita yang berkembang dimasyarakat terkait objek wisata Gunung Nona ini.
            Objek wisata ini terletak diDusun Pattaliran Desa Bamba Puang, Dimana untuk menikmati Panorama Gunung Nona “Erotic Mountain” tersebut bisa dengan mengunjungi salah satu tempat peristirahatan yang terdapat diDusun tersebut yaitu Villa Resting Bamba Puang. Posisi Villa Resting tersebut berada diatas bukit disebelah kanan jalan poros Enrekang-Tana Toraja. Letak Villa tersebut sangat strategis karna berhadapan langsung dengan panorama Gunung Nona yang eksotik dan pemandangan indah gunung serta perbukitan yang sambung menyambung. Ketika musim tanam tiba kita bisa melihat hamparan tanaman jagung yang begitu luas dan tertata indah diatas perbukitan batu. Di bawah gunungnya terdapat Aliran sungai Mata Allo yang ketika musim hujan aliran sungainya bisa sangat deras. Agenda liburan anda ke Kabupaten Enrekang tidak akan lengkap bila tidak mengunjungi objek wisata Gunung Nona atau “Erotic Mountain” ini.
2. OBJEK WISATA AIR TERJUN “LA GANDANG”


            Air terjun La Gandang merupakan air terjun dengan tinggi kira-kira 15 meter, airnya yang sangat jernih dan berwarna biru merupakan penanda bahwa air terjun ini cukup dalam  yang lumayan yaitu sekitar 5 meter. Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat nama Air Terjun diambil dari suara yang dikeluarkan oleh air terjun ini ketika jatuh kebawah yaitu menyerupai suara Gendang yang dipukul. Maka dari itu, oleh warga setempat air terjun ini diberi nama Air Terjun LA GANDANG.
            Air Terjun ini terletak didusun Benteng Banua sekitar 1 KM dari jalan poros Enrekang –Tana Toraja. Adapun akses jalannya belum terlalu baik karna masih berupa jalan tani yang ketika hujan maka akan sulit dilalui oleh kendaraan, baik itu roda dua maupun roda empat.  Namun ketika musim kemarau tiba kendaraan bisa sampai kebawah lokasi air terjun ini. Ketika kita masuk dalam area wisata Air Terjun La Gandang ini mata akan disuguhi oleh pemandangan panorama barisan perbukitan yang masih asri dan sejuk. Bahkan jika langit cerah, kita dapat melihat cahaya aurora Sunset dan sunrise yang begitu indah untuk disaksikan. Bagaimana …? Tertarik untuk mengunjungi Air Terjun La Gandang…? Sepertinya wisata air terjun ini bisa anda masukkan dalam daftar list spot-spot wisata yang harus dikunjungi jika anda liburan ke Kab. Enrekang.
   
3. OBJEK WISATA ALAM  The Great Mountain “GUNUNG BAMBA PUANG”



  Gunung Bamba Puang merupakan gunung batu cadas yang menjulang tinggi dengan volume batu yang sangat besar dan padat. Untuk melihat gunung batu cadas ini tidak begitu sulit, ketika kita memasuki wilayah administrasi kecamatan anggeraja dan mulai memasuki wilayah desa Bamba Puang maka Nampak sangat jelas keagungan gunung ini. Berdasarkan penelitian secara geografis karakter gunung Bamba Puang adalah berdiri tegak menghadap ke arah selatan membentuk sebuah kerucut. Patahan secara alami pada puncak gunung Bamba Puang bersusun tiga membentuk kaligrafi menggambarkan simbol keagungan atas Rahmat-Nya alam semesta. Dari arah timut gunung Bamba Puang menyerupai seorang perempuan berhijab, memandang tersenyum. Gunung Bamba Puang membentuk makna/gambaran “uluhiyah” yang mustahil ada pada selainnya dan merupakan bukti alam yang menunjukkan Ketuhanan Allah dan keesannya. Gunung Bamba Puang dengan ketinggian 1.157 meter diatas permukaan laut dan tebing ketinggian sejati 1.021 meter dpl serta tinggi nisbi 150 meter. Pada permukaan tebing gunung Bamba Puang terkena sinar matahari dari pagi hingga sore hari (Burhanuddin, UNIFA Makassar : 2007).

Ditinjau dari aspek historis Bamba Puang merupakan sebuah warisan peradaban budaya dan situs purbakala perjalanan masa lampau. Dalam penelusuran sejarah Bamba Puang yang terletak pada jazirah Sulawesi Selatan merupakan sebuah catatan sejarah dan nilai cagar budaya. Bamba Puang merupakan “Eran di Langi’ “ atau tangga raja ke langit, dalam lagendanya sebagai mediator untuk memperoleh informasi dari Sang Pencipta alam semesta. Sehingga dalam sajarah Massenrempulu yang lampau ada mitologi sebuah kerajaan yang sukses di Bamba Puang yang bernama Londok Londok, dan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan-kerajaan adalah To Manurung di Langi’ (Orang Mulia dari Nirwana) di Sulawesi Selatan (Kantor Pariwisata Enrekang, 2006).

Penelitian menunjukkan bahwa temuan arkeologi (gerabah, berselip merah, alat serpih batu (pisau batu), tulang manusia, memberikan data awal eksistensi hunian di Bamba Puang sekurang-kurangnya dimulai sekitar 4000-3000 SM yang menegaskan cerita rakyat tentang “Bamba Puang” bukan sekedar mitos, tetapi suatu pewarisan “sejarah” tumbuhnya pioneer komunitas di Enrekang. Komunitas tersebut kemudian berkembang dan menyebar dari titik awal kebudayaan di Bamba Puang yang kemudian mendapat sentuhan tipis pengaruh Bugis di Tapong dan kota Enrekang. Pengaruh Bugis yang kental yang tipis ditepi selatan dan sedikit di timur, karena adanya permanensi etnologi bahkan sampai dengan kedatangan agama Islam di Tapong (M. Irfan Mahmud, Balai Arkeologi Makassar, SulSel).

Ditinjau dari aspek arkeologis Bamba Puang oleh Albert Cristiant Kruyt mengungkapkan sebagai awal peradaban pemukiman dan pusat pertama pengembangan kebudayaan, tetapi karena adanya malapetaka maka mereka terpencar ke utara, tengah, barat, dan timur di wilayah Sulawesi Selatan bahkan sampai di Sulawesi Tengah (Fatmawati Umar, 2003, dan Pelras, 2006).

Gelombang migrasi penduduk itu, kemudian bertempat tinggal dan menetap untuk pertama kalinya di daerah Bamba Puang dan Rura (Tandilintin, 1981). Dengan menjadikan Bamba Puang sebagai tempat tinggal dan pemukiman pertama gelombang migrasi itu, maka daerah itu merupakan pusat pertama mengembangkan kebudayaan. Catatan Umar tentang alasan pembenaran hipotesis itu, dengan menunjuk bukti adanya temuan gerabah dan alat pemukul kulit kayu yang berciri neolitik (prasejarah) pada beberapa situs di Bamba Puang, serta berbagai peninggalan megalitik, antara lain altar batu, menhir, lumpang batu dan penguburan ditebing batu atau ceruk batu. Tempat itu kemudian diakui juga oleh orang Toraya sebagai awal peradaban mereka hingga sekarang. Hal itu dapat dapat dilihat dalam tradisi upacara orang Toraya yang disebut “Aluk Todolo”. Daerah Bamba Puang dan Rura selalu pertama disebut dan diberikan bagian daging hewan dikurbankan dalam upacara kematian tersebut (Umar, 2003). Dari daerah Bamba Puang dan Rura itulah kemudian penduduknya menyebar termasuk ke wilayah utara.

Setelah mereka menempati daerah itu dalam jangka waktu yang cukup lama, maka mereka berkembang sehingga akhirnya mereka terbagi atas beberapa kelompok. Kelompok-kelompok itu menurut Tangdilintin menyebar hingga ke daerah pegunungan dan menetap disana, maka kelompok-kelompok itu masing-masing mencari tempat pemukiman baru dan dipimpin seorang kepala atau ahli adat yang bergelar Arruan. Arruan berarti gelar Aru atau Arung bagi pemimpin atau raja-raja di kerajaan Massenrempulu Endekan.


Gelombang migrasi berikutnya adalah datangnya orang-orang yang menggunakan perahu, yang dipimpin oleh kepala suku yang bergelar Puang Lembang (C.Salombe dalam Umar, 2003). Kelompok pendatang tersebut pertama kali berdiam di Bamba Puang, kemudian mempersatukan kelompok-kelompok arruan yang telah ada sebelumnya dalam satu persekutuan/federasi yang disebut Tallu Lembangna, artinya tiga kelompok persekutuan besar. Dengan pimpinan bergelar Puang Tallu Lembang. Gelar Puang itulah kemudian menjadi bangsawan di Sulawesi Selatan termasuk di wilayah Massenrempulu, kerajaan Endekan, dan sebagian kerajaan Tallu Batu Papan, (catatan: bahwa gelaran LEMBANGNA adalah istilah dari Tana Toraja yaitu turunan Puang asal Sanggalla, namun pada hasil pertemuan kesepakatan di Buntu Tampo diambil secara TONGKONAN AADA’ dan menetapkan bahwa gelaran kekuasaan raja atau Puang di Tana Duri dengan nama BATU PAPAN. Tampo adalah cikal awal dikenal nama Anggeraja).

sumber : Burhanuddin S.Pd.I (R. Burcha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar